Oleh: M. Ikhsanudin

Siapa kyai atau santri yang tidak kenal Kamus Al Munawwir? Sudah haqul yakin santri pasti kenal, karena kamus karya masterpiece dari KH. Ahmad Warson Munawwir yang ditashih oleh KH. Ali Maksum dan KH. Zainal Abidin Munawwir ini merupakan Kamus Arab-Indonesia pioner paling lengkap di Indonesia.

Kamus Al Munawwir ini menjadi pegangan utama kyai dan santri ketika memaknai kitab kuning, referensi berbahasa Arab. Kamus yang disusun secara abjadi berdasarkan kata dasar (ashlun) model Madzhab Kufah yang setiap kata dasar dikembalikan ke fi’il madhi (فعل ماض), yang kemudian dikembangkan makna turunan atau makna derivatifnya (Isytiqaq).

Kamus Al Munawwir ini kemudian menggeser kamus Arab-Arab yang beredar di Indonesia, seperti kamus Munjid karya Louis Ma’luf atau Kamus Arab-Melayu seperti Idris Al-Marbawi Karya Syaikh Muhammad Idris Abdur Rauf Al Marbawi dan lainnya.

Ketika draff kamus ini baru jadi, kurang lebih 4000-an halaman, terdiri dari kata dasar dan kata derivasinya yang selalu didukung dengan dalil/syawahid dari Al-Qur’an, Hadis atau Syair-syair Arab untuk menunjukkan berbagai makna turunannya, Mbah Son pernah didawuhi guru sekaligus kakak ipar beliau, KH. Ali Maksum, untuk sowan ke Bapak Muhammad Natsir (Mantan Perdana Menteri RI).

Dengan pakaian kaos berkerah, celana jins dan kepala tanpa peci, sangat necis ala anak muda pada zamannya.

Waktu Pak Natsir membaca kamus Al Munawwir, awalnya beliau tidak percaya bahwa Kamus itu merupakan karya Mbah Warson muda yang kelihatan anak muda pada umumnya.

Setelah ngobrol-ngobrol beberapa saat dengan konfirmasi isi kamus tersebut, akhirnya Pak Natsir percaya dan sangat mengapresiasi kamus karya Mbah Warson ini yang sangat lengkap paripurna serta mendukung untuk disebarluaskan.

Pernah suatu hari, saya dipanggil Mbah Warson. Beliau dawuh bahwa beberapa bangunan pondok pusat Al Munawwir yang belum selesai pembangunannya, agar ada upaya pengurus pusat untuk menyelesaikannya.

Beliau ngersakke bisa segera direalisasikan supaya terlihat rapi, indah dan lebih bermanfaat untuk santri, baik nanti akan digunakan untuk kelas maupun asrama santri.

Pada waktu itu, beliau mendapatkan informasi dari salah satu Alumni bahwa akan ada pengadaan Kamus untuk pondok pesantren se-Indonesia, dengan nilai yang cukup fantastis yaitu 15.000 eksemplar Kamus. Pengadaan ini ditangani oleh sebuah Kementrian dan Perusahaan dengan sistem tender.

Mbah Son menelpon beberapa alumni Krapyak yang di Jakarta, baik yang sedang menjabat di Legislatif maupun di Eksekutif untuk menanyakan peluang Kamus Al Munawwir ikut tender, dengan mengkalkulasi apakah Kamus Al Munawwir layak dan bisa menang tender tersebut.

Setelah dikalkulasi dan berdiskusi panjang, akhirnya saya diperintah beliau untuk ke Jakarta, bertemu Direktur Perusahaan dan Direktur sebuah Kementrian untuk ikut mengajukan penawaran pengadaan Kamus tersebut.

Dengan didukung Alumni Krapyak yang di Jakarta, akhirnya kamus Al Munawwirlah pemenang tender tersebutlah. Kamus ini akan dibagikan ke pondok pesantren seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga pulau Rote.

Dalam kesepakatan tender bahwa ada kebutuhan 15.000 (lima belas ribu) eksemplar Kamus, sekaligus pengirimannya ke masing-masing daerah tersebut dengan list yang sudah ditentukan.

Setelah pulang, saya laporan Mbah Son dan beliau memutuskan segera ditangani teknisnya.
Beliau dawuh :
“Iki diurusi, hasile kanggo bangun pondok kidul (pusat). Yo Kowe mengko tak perseni”.

Sebagai bujangan yang sudah ingin nikah dan belum punya modal, dawuh beliau bikin ‘nyes’, karena saya bisa khidmah dan sekaligus akan dapat prosentase yang cukup besar hitungannya dari hasil tender kamus ini.

Setelah beliau koordinasi dengan Pustaka Progresif Surabaya dan sudah clear, akhirnya saya data ulang jumlah pondok yang akan dikirimi dengan jumlah kamus yang bervariasi sesuai banyak sedikitnya santri atau besar kecilnya pesantren sesuai list yang sudah ditentukan.

Setelah itu, segala persiapan ditata dengan baik, mulai rencana pendataan penerima, pilihan expedisi pengiriman, hingga persiapan teknis pengirimanmya ke masing-masing daerah.

Ditengah persiapan yang sudah cukup matang, tiba-tiba ada telpon dari Jakarta, bahwa pihak perusahaan dan kementerian akan meminta tanda tangan surat dan kwitansi dari Mbah Son yang berbeda alias ada Mark Up atas pengadaan Kamus ini, dengan selisih yang cukup fantastis.

Saya kemudian sowan Mbah Son dan menelpon ulang sang Direktur Jakarta tersebut, supaya komunikasi langsung dengan Mbah Son, karena sebagai santri ya saya hanya nderek dawuh, sami’na wa atho’na kepada guru.

Setelah telpon beberapa saat, Mbah Son nampak sedikit duko dan kecewa, kemudian beliau memutuskan untuk membatalkan jika harus tanda tangan surat dan kwitansi Mark Up tersebut. Beliau kersane sesuai hasil negosiasi dan kesepakatan awal, dengan harga dan biaya operasional yang sesungguhnya.

Setelah beliau nutup telpon, beliau nelpon ulang salah satu Alumni yang jadi anggota DPR RI tentang hal ini. Kata alumni tersebut bahwa :
“itu sudah biasa di Jakarta Mbah Kyai”.

Dengan sedikit duko walaupun sambil tertawa karena kepada Alumni.
Mbah Son dawuh :
“ora keno ngono kuwi, iku tetep doso”.

Saya melihat walaupun didepan mata ada tender 15an Milyar, Mbah Son tidak silau. Beliau santai saja, bahkan jika harus melakukan Mark Up up maka lebih baik mundur dan batal.

Sebagai santri, saya nyeletuk usul :
“Niki kulo etang, tasih dapat keuntungan cukup banyak Mbah, tasih cekap menawi damel ngecor pondok”.

Beliau dawuh sambil tertawa :
“He….he…ojo gur mikir untung, tapi iku doso lan ora berkah, opo maneh arep gawe bangun pondok. Kanggo bangun pondok iku kudu sing jelas resik, halal”.

Disini lah, saya melihat betapa zuhud dan wira’i-nya beliau. Beliau betul-betul mengimplementasikan teori zuhud Imam Ghazali yaitu zuhud maqdur dan zuhud ghoiru maqdur serta beliau menerapkan wira’i ‘ala Imam Hasan Basri yakni wirai dari perkara subhat, makruh dan khilaful aula.

Suatu pagi ketika sowan, Beliau pernah cerita bahwa pernah kamus Al Munawwir ini akan dicetak di Malaysia, diterjemahkan ke bahasa Melayu. Percetakan Malaysia tersebut akan membeli hak cipta kamus Al Munawwir dengan nilai yang luar biasa besar, kalau tidak salah 5 Milyaranan.

Dalam keputusannya, beliau tidak kerso (mau), khawatir harga Kamus di Malaysia menjadi mahal sehingga sedikit Santri/ Mahasiswa Melayu yang bisa memiliki dan menggunakan kamus tersebut.

Karena bagi beliau, niat tujuan membuat Kamus adalah nasyrul Ilmi (menyebarkan ilmu-ilmu Islam), bukan untuk kekayaan duniawi.

Makanya, walaupun beliau mendapat royalti cukup banyak dari pustaka progresif (model bagi untung 50:50), hidup beliau tetap sederhana. Rumah beliau sederhana, pakaian sangat sederhana, pun mobil beliau yang hanya Sedan Mercy hitam dan Honda Stream Biru.

Pernah suatu hari, beliau ke kantor Pondok naik mobil memanggil saya, kemudian dawuh :
“Kowe iso nyopir”.

Saya jawab :
“dereng saget kyai”.

Akhirnya saya diminta naik mobil beliau, duduk di depan samping beliau yang nyopiri, keliling Sewon untuk membeli obat ke Apotek Sewon (konsultasinya dengan Mbak Muhim, Alumni Krapyak yang jadi Apoteker), beli sate dan lainnya. Kemudian pulang, saya diturunkan beliau di depan gerbang pondok pusat.

Beliau juga terkadang hanya naik becak untuk sowan ke Kakak beliau, Mbah Kyai Zainal, adik beliau, Bu Nyai Fatimah dan lainnya.

Lalu kemana royalti Kamus dan hasil bisnis beliau? Setahu saya, semua didedikasikan untuk pengembangan Pondok. Saya pernah nderekke beliau jalan dari Ndalem, lewat Musholla Timur, ke barat lewat gang samping komplek, sampai Musholla Barat, lalu beliau dawuh :
“Iki Kabeh dibangun lantaran Kamus Al Munawwir”.

Jadi Mbah Son betul-betul hanya sekedarnya hidup, karena semua didedikasikan untuk mengembangkan pondok, pengajian lapanan ibu-ibu Jum’at pon dan kegiatan di Ormas dan Orpol pada waktu beliau masih aktif.

Beliau sangat mandiri untuk pengembangan Pondok dan peran-peran kemasyarakatan, tidak tergantung dengan proposal.

Beliau memilih dan memilah secara selektif dengan dasar sikap zuhud dan wira’inya, meninggalkan subhat dan mengabaikan madahiyat (prestise), karena yang ada hanya lillahi ta’ala, disertai meninggalkan Ma siwa Allah (ما سوى الله) termasuk dunia.

Dari sinilah, kita bisa belajar langsung tentang zuhud dan wira’i di era modern, yang tentu sangat berat. Ditengah-tengah materi menjadi ukuran kesuksesan sehingga cara apa pun dihalalkan, ibarat wal ge duwal asal ora gronjal, mbuh kodok mbuh kadal dianggap halal”. Mbah Son ngajari kita untuk tetap konsisten dalam sikap zuhud dan Wira’i.

Beliau sudah sampai maqam zuhud ghoiru maqdur dalam bahasa Imam Ghazali yaitu “burudatusyain an qolbil Zahid”.

Beliau memandang kecil dunia (istisghorud dunya) walaupun milyaran.

Beliau membawa pergi hati (safarul qolbi) untuk fokus ke Gusti Allah dan Negeri akhirat dan meninggalkan pengaruh duniawi dalam hatinya.

Alhamdulillah jariyah beliau terus berkembang, mulai dari Madrasah Salafiyah IIl, Pasca Madin, Madrasah Hufadz Putri, MI Tahfidz elMuna Q, MTs Tahfidz elMuna Q, MA Tahfidz elMuna Q, SMK Al Munawwir Putri, MTPA dan MTPR. Selain lokasi Pesantrennya di Krapyak, juga di Pajangan Bantul.

Semoga Rahmat dan maghfirah Allah senantiasa tercurah ke beliau, dijadikan kuburnya menjadi taman Surga. Lahu Al Fatihah.

Diselesaikan di KRL, 3 Maret 2025/3 Romadhon 1446 H.

Tulaimidz beliau

Kang ikhsan Magelang

SEMOGA BERMANFAAT….