Penulis : Iin Nadzifah Hamid (JF KKB Ahli Madya Perwakilan BKKBN DIY),
Mahasiswa S2 Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan
Abstrak
“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya… “.
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pedoman pertama dan paling utama umat Islam dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemimpin Islam di muka bumi yang bersifat absolut dan universal, artinya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya harus diaktualisasikan dan diinternalisasikan dalam menjalankan fungsinya.
Situasi global yang saat ini dicirikan dengan berbagai perubahan paradigma membutuhkan kepemimpinan yang sesuai dengan perubahan itu sendiri. Pemimpin yang memiliki ciri-ciri yang unggul serta menunjukkan perilaku yang adaptif terhadap perubahan, mampu menangkap fenomena di lingkungan kepemimpinannya serta memahami siapa yang menjadi pengikutnya.
Pemimpin dalam perspektif Islam adalah ia yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam memimpin suatu institusi, kaum, bangsa, atau negera. Kepemimpinan profetik bisa menjadi model kepemimpinan yang sangat ideal digunakan di era global saat ini.
Prinsip dasar kepemimpinan profetik juga bisa lebih dipahami dalam ayat- ayat Al-Qur’an serta hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang meliputi : a) Disiplin wahyu; b) Memulai dari diri sendiri; c) Memberikan teladan; d) Selalu bermusyawarah; e) Menerapkan keadilan dan Amanah; d) Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘alaih yang artinya, bahwa : “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya… “.

Istikhlaf (pergantian kepemimpinan), yang mengandung pesan bahwa diantara janji dan ketentuan Allah adalah menjadikan kaum beriman sebagai pemimpin dan payung bagi kehidupan ummat manusia di bumi. Apabila kaum beriman tengah berada dalam kesempitan dan lemah, maka hal itu bukan kondisi final yang harus diterimanya dengan pasrah tanpa perjuangan. Keimanan mereka harus menjadi pendorong bagi lahirnya segala usaha (amal shaleh) untuk keluar dari berbagai krisis yang menekannya. Maka masa depan kaum muslim adalah masa depan yang menjanjikan, selama mereka tidak berhenti melakukan ikhtiar dan ikhtiar.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya. Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa…” (QS.24 An- Nuur:55)
Dalam tinjauan normative, Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pedoman pertama dan paling utama umat Islam dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemimpin Islam di muka bumi. Al-Qur’an dan As-Sunnah bersifat absolut dan universal, artinya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya harus diaktualisasikan dan diinternalisasikan dalam menjalankan fungsinya. Al-Qur’an tidak hanya mengkaji tentang akidah dan ubudiyah tetapi seluruh aspek kehidupan diantaranya adalah berkaitan dengan fungsi-fungsi dan tugas pemimpin. Oleh karena itu, setiap pemimpin Islam diharuskan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai fungsi pemimpin yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Pemimpin adalah setiap manusia yang diberikan fungsi dan tugas yang sesuai dengan proporsinya untuk membina dan mengembangkan segala potensi lapisan masyarakat yang ada dengan melibatkan semua elemen dan pendukung untuk memperoleh tujuan yang sama dan yang telah direncanakan sebelumnya. (Baharuddin 2018)
Menurut Alvesson & Einola, (2019) kepemimpinan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam proses kepemimpinan terjadi tranksaksi antara pemimpin dan pengikut, sehingga kepemimpinan bukanlah sesuatu yang bersifat linear dan atau peristiwa satu arah, melainkan peristiwa yang interaktif, sehingga tanpa dasar yang kuat tidak akan mungkin seorang pempimpin dapat mempengaruhi pengikutnya. (Iskandar et al. 2021)
Teknologi komunikasi telah mendorong terjadinya perubahan besar-besaran dan mendasar dalam kehidupan dan peradaban manusia sekarang, dimana diantaranya batas-batas konvensional geopolitik dan geografis telah jauh bergeser. Teknologi komunikasi telah mengkristalkan sebuah bentuk hubungan trans-regional dan trans- dimensional baru.
Arus globalisasi, disamping secara husnuzh- zhan diterima sebagai sebuah “sunnatullaah”, namun pada saat yang sama ditengarai masih merupakan salah satu rekayasa besar dari pihak-pihak yang kuat.
Globalisasi yang memiliki sisi gelap ini dapat menggiring masyarakat kepada satu bentuk kejatuhan, terutama kejatuhan martabat kemanusiaan dan kerabbaniannya. Kejatuhan manusia (masyarakat) dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, sehinga memiliki sifat jahili (AM. Saefuddin, 1993:158-160) antara lain disebabkan beberapa hal : (1) humanisme yang mengedepankan manusia kepada posisi melebihi fitrah dan kadar yang sewajarnya. Dengan humanisme manusia menjadi titik sentral kehidupan yang merasa unggul dan menjadi penguasa dengan segala ambisinya untuk menundukkan alam. Jadilah masyarakat hidup dengan kemanusiaan yang tidak ber-Tuhan; (2) sekularisme, yaitu gagasan dikotomis yang memilah kehidupan dunia dari tata nilai agama. Agama dipinggirkan dengan sepenggal kecil aspek hidup yang dipandang tidak terlalu berarti, sedangkan wilayah yang lebih luas dianggap merupakan wilayah aktualisasi mutlak manusia yang tidak boleh diwarnai oleh ajaran-ajaran agama; (3) materialisme, yaitu gagasan tentang hidup yang dipandang serba materi, (4) atheisme, yakni gagasan untuk tidak mengakui eksistensi Tuhan baik secara konsepsi maupun pada tataran perilaku. (Dudi 2001)
Dari realita yang sedang berlangsung bahwa perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi, karena itu diharuskan adanya aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai Islam yang terkandung dalam al-Qur’an terhadap fungsi pemimpin. Dapat diindikasikan bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah dengan bergesernya praktek fungsi pemimpin dari nilai-nilai Al- Qur’an dan cenderung mengadopsi sistem kepemimpinan yang bernuansa liberalis, hermeneutik dan pragmatis.
Situasi global yang saat ini dicirikan dengan berbagai perubahan paradigma membutuhkan kepemimpinan yang sesuai dengan perubahan itu sendiri. Pemimpin yang memiliki ciri-ciri yang unggul serta menunjukkan perilaku yang adaptif terhadap perubahan, mampu menangkap fenomena di lingkungan kepemimpinannya serta memahami siapa yang menjadi pengikutnya.
Dalam teori kepemimpinan yang berkembang terdapat model kepemimpinan yang cenderung menggunakan referent power dan expert power yang dikenal dengan kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional yang didasari reward power dan coercive power. Kepemimpinan transformasional dimaknai sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi, sedangkan kepemimpinan transaksional melibatkan suatu proses pertukaran (exchange proccess) di mana para pengikut mendapatkan imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin (Bass,1985; Burn, dalam Locke, 1997).
Menurut Bass (1985), seorang pemimpin dapat mentransformasikan bawahannya melalui empat cara : (Hasanati 2012)
- Idealized Influence (kharisma) : mempunyai pengetahuan yang luas di bidangnya, membangkitkan kepercayaan dan memberi teladan dalam hal sikap, perilaku, prestasi maupun komitmen kepada bawahannya;
- Inspirational Motivation: menantang dan memberikan inspirasi pada bawahan dengan melatih kepekaan dan menciptakan kegembiraan dalam menyelesaikan pekerjaannya, membangkitkan semangat dan optimisme;
- Intellectual Stimulation: mendorong bawahan memunculkan ide-ide baru dan inovatif atas masalah yang dihadapi;
- Individualized consideration : memberikan perhatian sesuai dengan kebutuhan individu untuk berprestasi dan berkembang.
Kepemimpinan transaksional menurut Bass (Locke, 1998) dikatakan sebagai pertukaran imbalan untuk mendapatkan kepatuhan melalui (a) contingent reward : melakukan proses pertukaran dengan bawahan dan (b) Management by exception (manajemen seperlunya). Management by exception ini terdiri atas:
- Management by exception (active), memantau secara terus menerus kinerja bawahan untuk mengantisipasi kesalahan – kesalahan sebelum mempunyai problem dan segera melakukan tindakan koreksi bila terjadi penyimpangan;
- Management by exception (passive): melakukan intervensi jika standard tidak tercapai, dan dilakukan akhir penyelesaian.
Djamuludin Ancok seorang ahli di bidang prestasi maupun komitmen kepada kepemimpinan yang mengatakan bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki konsep kepemimpinan yang bagus dan berpotensi untuk dikembangkan, dan salah satunya menyebut ajaran dari Ki Hadjar Dewantoro (Pamudji, 1995). Ki Hadjar Dewantoro menjelaskan bahwa pemimpin seharusnya mengikuti tiga prinsip yaitu:
- Ing ngarso sung tulodho. Seorang pemimpin harus mampu melalui sikap dan perbuatannya, menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang yang dihadapi;
- Ing madyo mangun karso. Seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya;
- Tut wuri handayani. Seorang pemimpin mencoba memberikan alternative yang harus mampu mendorong anggotanya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Pemimpin dalam perspektif Islam adalah ia yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam memimpin suatu institusi, kaum, bangsa, atau negera. Dalam konteks kekinian pemimpin dapat dinisbahkan kepada seseorang yang mempunyai kapabilitas internal dalam hal emosional dan spiritual, dan eksternal dalam hal kepekaan sosial, budaya, dan pemahaman akan pluralitas suatu bangsa dan negara. Islam sebagai agama rahmatan lil’âlamîn memiliki sudut pandang tersendiri dalam memaknai dan memahamkan idealisme kepemimpinan dalam sebuah kelompok, institusi, negara, dan bangsa.

Berbicara tentang kepemimpinan, dapatlah menjadikan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai role model dalam menjalankan kepemimpinannya. Kepemimpinan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bisa terlepas dari kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin rakyat. Keteladanan merupakan prinsip fundamental dari kepemimpinannya. Beliau memimpin dengan lebih mengutamakan pemberian contoh (uswah al-hasanah) kepada sahabat-sahabatnya. (Dewi et al. 2020)
Kepemimpinan Rasulullah disebut dengan istilah kepemimpinan profetik. Kepemimpinan profetik yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi dan rosul (Adz-Dzakyaey dalam Munardji, 2016: 75).
Menurut perspektif Kuntowijoyo, dalam ajaran Islam terdapat salah satu ayat yang dapat dijadikan landasan yang mengandung muatan misi paradigma profetik yaitu QS. Ali Imran: 110, sebagai berikut :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dari ayat tersebut Kuntowijoyo memandang bahwa misi transformasi sosial yang dilakukan oleh para nabi telah melibatkan unsur-unsur humanisme, liberasi dan trensendensi.
Di antara ciri-ciri atau paradigma kepemimpinan yang dimiliki para nabi atau rasul adalah seperti terungkap dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
- Cerdas, analitis dan kritis (fathanah) terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 151;
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Ayat di atas secara implisit menjelaskan bahwa kepemimpinan seorang Rasul yang ditugaskan untuk membacakan dan mengajar manusia menuntut dirinya untuk cerdas atau pintar, begitu pula tuntutan dan harapan seorang pimpinan saat ini;
- Menyampaikan (tabligh), tegas, berani dan menjunjung keadilan dan kejujuran (shidiq) terdapat dalam QS. Al Baqarah [2]: 213;
“Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan- keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Tabligh merupakan salah satu misi utama yang diemban oleh para Rasul. Dalam rangka menyampaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala maka para rasul atau seorang pimpinan dituntut untuk bersifat tegas dan memiliki keberanian;
- Lemah-lembut dan kasih sayang terdapat dalam QS. Ali Imran [3]: 159;
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat lain yang dapat menunjang sikap lemah lembut dan kasih sayang atas model kepemimpinan para nabi adalah seperti tersirat dalam QS. Al-Anbiya ayat 107, yang artinya berbunyi “Dan tiadalah Kami utus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
- Membawa misi tauhid (transendental) terdapat dalam QS. Al A’raf [7]: 59;
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)”.
Ayat tersebut secara implisit menjelaskan tentang peran transendental kepemimpinan nabi dalam menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Prinsip dasar kepemimpinan profetik juga bisa lebih dipahami dalam ayat- ayat Al-Qur’an serta hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai berikut:
- Disiplin wahyu (terdapat dalam QS. An-Najm: 3-4)
- Memulai dari diri sendiri (terdapat dalam HR. Bukhari dan Muslim)
- Memberikan teladan (terdapat dalam QS. Al-Ahzab: 21)
- Selalu bermusyawarah (terdapat dalam QS. Asy-Syura: 38 dan QS. Ali Imron: 159)
- Menerapkan keadilan dan amanah (terdapat dalam QS. Al-A’raf: 29, QS. An-Nisa’: 58, QS. An-Nahl: 90, serta QS. Al-Maidah: 8)
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar (terdapat dalam QS. Ali Imron: 104)
Sosok pemimpin sebagai suri tauladan diharapkan mampu memenuhi 4 pilar keteladanan dari para Nabi dan Rasul, yakni:
- Siddiq; yaitu sifat jujur, benar, berintegrasi tinggi dan terjaga dari kesalahan, benar dalam bertindak berdasarkan hukum dan peraturan;
- Amanah; yaitu dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel dalam mempergunakan kekayaan/fasilitas yang diberikan;
- Tabligh; yaitu senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan yang wajib disampaikan dan tidak takut memberantas kemungkaran dan sebagainya;
- Fathanah; yaitu cerdas, memiliki intelektual, emosional dan spiritual yang tinggi dan profesional, serta cerdas dalam mencari jalan keluar dari berbagai kesulitan.
Pengimplementasian kepemimpinan profetik bersifat situasional, dan berdasarkan kesimpulan diatas, maka kepemimpinan profetik bisa menjadi model kepemimpinan yang sangat ideal digunakan di era global saat ini.
Walallāahu a‘lam biṣ-ṣawāb